Journey…. (Scene 1)

63202_4573321656002_2054602369_n

Title : Journey….

Author : Inthahindah

Disclaimer : Foto diambil dari google. And this story is MINE!

1

Akhirnya!

Setelah hampir satu tahun tak pernah tahu jejaknya, Tuhan mendengar doaku.Ia membawa sosok itu kembali padaku. Setidaknya, kali ini aku tak lagi bertanya-tanya.

Aku berlari menghampiri Nay di sana. Sahabatku sedari kecil itu keliatan sedang mengetik sesuatu di ponselnya.

“NAY!” pekikku.

Tampak Nay terperanjat. Diangkatnya wajahnya menatapku, dan merengut kesal. Dia lucu sekali. Hahaha! “Sialan lo! Gue pikir emak gue.” sahutnya.

Aku hanya tertawa kecil. “Ngapain lo?” tanyaku sambil menjatuhkan diri di sebelahnya.

Tekukan di wajahnya hilang. Berganti dengan senyum-senyum aneh yang, entahlah apa itu artinya.

Aku menyenggol bahunya pelan. Tadinya berharap ia akan menceritakan penyebab keanehannya. Tapi, lagi-lagi Nay hanya memperlihatkan cengirannya yang sama sekali tidak indah itu.

“WOI! Kenapa?” paksaku sambil memukul tangannya.

Nay tertawa santai. Senang sekali sepertinya berhasil membuatku penasaran. “Enggak. Gue kayaknya lagi suka seseorang aja, Bi.” katanya santai sambil memutar-mutar ponselnya. Semoga ponsel itu jatuh. Amin!

Ha?

APA TADI? BARUSAN DIA BILANG APA? DIA SUKA SESEORANG?

-_- Ini sudah ke sekian kalinya aku mendengar kata-kata semacam itu keluar dari mulut Nay. Dan dalam bulan ini…. 4 kali, kurasa?

“Bi, kayaknya gue beneran jatuh cinta deh sama dia!” sambungnya lagi.

Aku sontak menghadapkan wajahku ke arahnya. “Serius lu, Nay? Bo’ong lu ah. Paling kayak yang udah-udah aja.” berondongku.

Nay mendelik. “Serius gue, Sialan! Lo segitunya amat.”

“Masalahnya, ini bukan pertama kali, Nay. Gue sih udah bosan banget dengar lu ngomong gitu.” sahutku santai.

Nay tertawa. “Emang sih, Bi. Gak munafik gue. Tapi yang ini beda, Bi. Sumpah!”

“Bedanya?”

“Susah gue jelasinnya~” rengeknya. Sedetik kemudian dia mendelik, “Lu keliatan banget ya gak percaya sama gue. Jelek amat gue kayaknya.”

Aku tertawa lepas. “Lu? Jelek? Kalo beneran lu jelek, gue mah Alhamdulillah banget, Nay. Sumpah! Biar gak pusing lagi gue ngeliat cowok-cowok pada ngejar-ngejar kita kalo lagi jalan. Tenang idup gue.” beberku.

Nay merengut. Haha..

Nayna Farhandya. Nama indah untuk perempuan yang juga tak kalah mempesona. Tubuhnya tinggi. Kulitnya putih bersih. Rambutnya, sejak masih kecil, tak pernah di atas bahu. Ia membiarkan rambutnya tergerai panjang. Tentu saja itu menambah kecantikannya. Dan senyumnya.. Kurasa tak ada yang bisa menolak pesonanya.

Rumahku dan rumah Nay berdekatan. Sejak masih ingusan – maksudku, ingusan dalam arti sebenarnta, bukan sebuah istilah – aku dan dia sudah berteman. Nay dua tahun lebih mudah dariku. Meski begitu, umur tak pernah membuat aku dan dia menghalangi persahabatan kami.

Ah, selain Nay, ada tiga orang lagi. Tata, Esa, dan April. Ditambah aku dan Nay, kami berlima merupakan sahabat dekat. Seluruh warga di sekitar komplek tahu bagaimana dekatnya kami. Tata, meskipun dulu adalah warga pindahan, ternyata bisa menyatu dengan mudah dengan kami yang memang sudah berkembang bersama sejak kecil. April, meski tidak langsung, tetapi memiliki hubungan saudara dengan Nay. Sedangkan Esa bersaudara denganku. Tapi Nay dan aku lebih dekat. April dan Esa lebih dekat. Tata lebih dekat denganku dan Esa dibandingkan yang lain. Meski begitu, kemanapun dan dimanapun, kami lebih sering berlima.

Di antara kami, memang akulah yang tertua. Esa dua bulan lebih muda dariku, sedangkan April dan Tata lima bulan lebih muda. Dulu, ketika masih kecil, mereka memanggilku kakak. Sedikit malu sebenarnya. Selain aku dan Esa, mereka bertiga tergolong ‘tinggi’. Tidak hanya tubuh yang semampai, tetapi juga fisik yang menunjang. Esa, meski tingginya kurang lebih tinggi badanku, tapi ia juga memiliki wajah yang cantik. Yah, dengan kata lain, aku adalah golongan ‘rakyat jelata’. Tertawalah!

Ah, aku?

Aku Sabi. Salsabila Nania.

*****

Secepat ini?

Aku bahkan baru tadi siang tahu tentang dia. Sekarang dia berdiri di depanku? Tuhan, Kau begitu menyayangiku ya?

“Nih, kenalin. Sodara gue, Arka.” ucap Dion tak lama ia dan malaikat itu, ah, bukan, pria itu, yang namanya Arka itu, turun dari motor mereka.

Satu persatu di antara kami, aku, Nay, dan Esa, bergantian memperkenalkan diri. Sementara Esa dan Nay berusaha terlihat manis dan imut, aku hanya bisa berucap apa adanya diriku. Ah, Tuhan. Untuk kali ini kenapa Kau tak sekalian menyulapku menjadi manis? T.T

“Arka.”

Hanya satu kata itu.

Benar-benar hanya satu kata itu yang diucapkannya.

Tapi suaranya merdu!!!!!

Baiklah, aku sepertinya sudah gila.

Selebihnya malam itu memang kami habiskan bercerita dengan Dion. Kenyataannya Arka memang sama sekali tak berbicara apapun. Ia hanya merespon setiap pembicaraan kami dengan senyum, gelengan, anggukan. DIA BAHKAN TIDAK TERTAWA! Apa salahku menyukai pria seperti dia, Tuhan?

AKU! Yang bahkan hanya diam ketika sakit gigi ini, harus menyukai pria sependiam itu? Menyimpan sejibun pertanyaan tentang dia selama beberapa tahun belakangan, dan ini kenyataan yang kutemui? Ah, hidup memang kejam.

Tapi, dia masih pria yang sama. Sesekali aku masih menemukan dia menundukkan kepala. Dia bahkan terlihat menerawang entah kemana. Tatapannya benar-benar sering kosong. Dia tetap Malaikat Kesepian yang sama.

Kurasa, aku memang terpikat pada kemisteriusannya.

*****

Aku membuka pintu rumahku. Ketukan itu memang tipis, tapi tetap saja terdengar oleh telingaku.

“Eh? Arka?” tanyaku heran. Kenapa dia ke rumahku?

DAN KENAPA KETIKA AKU MEMAKAI DASTER EMAKKU INI?

“Ah, Dion di sini?”

Dia bisa bicara! Hahaha.. Suaranya bahkan jauh lebih merdu sekarang. Kenapa dia tidak mau bicara kemarin-kemarin?

“Dion?” Keningku mengernyit. “Nggak tuh. Biasanya dia sms dulu kalo mau ke sini. Kenapa?”

Dia menggeleng. “Gak papa.” ucapnya sambil berbalik menuju motornya.

Ha?

Yang benar saja! Itu saja? Tuhaaaan, lakukan sesuatu untukku. Kumohon!

Terdengar dering handphone, yang belakangan kuketahui adalah milik Arka.

DAN KENAPA LAGU WAKUNCAR JUSTRU JADI DERING PANGGILANNYA? APA INI?

Jangan tertawa, Sabi! Jangan!

Arka berbalik lagi menghadap ke arahku yang memang masih membiarkan diriku berdiri di depan pintu rumah. “Dion bilang mau ke sini. Gak papa gue nunggu di sini dulu?” ucapnya.

Wah, cukup panjang ya. Aku tersenyum. “Boleh. Mau nunggu di luar atau di dalam?”

Arka diam sebentar. “Di sini aja.” sahutnya lagi sambil menunjuk dipan di depan rumahku.

“Gue ganti baju dulu!” Untung saja aku segera sadar. Kalau terlambat sedikit saja, apalagi kalau Dion sudah sampai di rumahku, bisa mampus aku dijadikan bulan-bulanan ejekannya.

Kulihat Arka mengangguk sebelum akhirnya kulangkahkan kaki ke dalam rumah. Secepat kilat kuganti dasterku dengan kaos dan jins selutut. Maklumlah, selain rok sekolah dan rok pramuka, semua rok yang dibelikan ibuku sudah kujual ke teman-teman terdekatku. Hehehe…

Arka sedang memainkan handphonenya ketika aku sudah berada di dekatnya. Menyadari kehadiranku, dengan segera disimpannya handphone itu. “Lama?” sapaku sembari ikut duduk di sampingnya.

“Gak kok.”

Kemudian hening.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

APA INI?

Aku mendehem, mencoba memancing perhatiannya. “Kok bisa ngira Dion di sini?” tanyaku memecah kesunyian menyebalkan tadi.

“Dion yang SMS.” sahutnya.

Hah! Hanya segitu saja jawabannya. Aku harus bertahan dengan diam lagi? Aku? Yang tiba-tiba pendiam ketika naik mobil? Kehabisan bahan karena cowok pendiam ini? Artinya aku kalah? Yang benar saja!

“Yakin? Bukan buat ketemu gue?” godaku sambil senyum-senyum menjijikkan.

Arka menatapku. “Iya.”

“Iya apa? Iya pengen ketemu gue atau iya apa nih?” pancingku lagi. Sepertinya tanpa usaha keras Malaikat ini akan jatuh ke tanganku 😀

“Iya, Dion yang SMS.”

JLEB!

Aku langsung manyun. Hah, cowok ini tidak bisa diajak bercanda ya. Serius sekali dia. Sialan!

“Woiy, udah lama?”

Aku dan Arka sontak menatap Dion, si sumber suara. Kapan tuh monyet datang? Kenapa suara motornya yang heboh itu tak terdengar?

“Baru aja.” jawab Arka santai.

Aku merengut. “Apaan baru? Lo malah udah ngeliat gue pake baju kebangsaan gue, Ar. Lo juga, Yon! Ngapain lu suruh dia ke rumah gue kalo elo belom sampe? Mao malu-maluin gue lo?” sungutku pada Arka dan Dion sekaligus.

Dion tertawa, sementara Arka hanya menatapku aneh. Ha, baru tahu dia suaraku tak semanis ketika bicara berdua dengannya. Huh! Biar saja!

“Iya sih, emang gitu niat gue. Berhasil gak? Lu lagi pake baju apa tadi? Daster ato tank top butut itu? Hahaha..”

“Berisik lu ah!”

Dion tertawa dengan kerasnya. Anak sialan ini!

DAN APA ITU? TADI SI ARKA SENYUM? SERIUS?

Ahhhh.. apa ini? Jantungku? Aku tiba-tiba punya penyakit jantung? Jangan mati sekarang, Sabi! Jangan..

“Lo sendirian? Nay mana?” tanya Dion setelah tawanya mereda. Sementara Arka kulihat berjalan ke arah motor Dion yang ternyata membawa temannya dan berbincang di sana.

Aku mencibir. “Cih! Lo maennya ke rumah gue. Yang ditanyain tetep gak jaoh-jaoh Nayna juga.”

Dia tertawa lagi. “Iyalah! Ngapain coba gue ngeliatin muka butek lu doang?”

Aku mendengus. Andai saja aku baru mengenalnya, sudah kubanting anak ini ke dinding. Untung saja wataknya kurang lebih kewarasanku, jadi masih bisa kutolerir.

“Ah, iya, lupa gue. Kenalin nih, temen gue. Ndri, sini!” panggilnya.

Cowok yang bersama Arka itu berjalan menghampiri kami diikuti Arka di belakangnya. Tepat di hadapanku, cowok itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Hallo. Andri.” sapanya.

Kusambut uluran tangannya dan menggenggamnya pelan. “Sabi.” sahutku tak lupa dengan senyum bertengger juga.

“Eh, Andri ini lebih tua dari lo. Jadi lo mesti panggil dia Abang, Bi.” sambung Dion juga.

Aku melirik Andri lagi. “Bener?” tanyaku memastikan.

“Gak papa kalo gak biasa. Panggil nama juga gak masalah kok.” katanya sambil tersenyum lagi. Hobinya senyum ya? Manis sekali. Kenapa si Arka malah hobinya menyimpan ekspresi sih? -_-

“Abang juga gak papa. Daripada gue manggil Dion Abang. Bisa kolaps gue.” candaku.

Dan sisanya hanya diisi obrolan ringan saja. Sampai akhirnya Nay datang bersama April dan menambah riuhnya suasana malam itu. Dan seperti biasanya, dimana ada Nay, di situ ada Dion. Dan dimana ada mereka, dia akan terus mengeluarkan gombalan-gombalan memuakkan dan menjijikkannya hanya untuk Nayna tercinta (katanya).

Dan sengaja atau tidak, hanya perasaanku atau benar-benar terjadi, beberapa kali aku dan Arka bertemu pandang. Dan ketika sadar kami memang sedang saling menatap, ketika kuulas sebuah senyum, Arka hanya menatapku dalam diamnya. Tanpa senyum dan tanpa ekspresi. Yang seketika langsung membuatku mencibir dan memeletkan lidahku padanya.

DAN KENAPA DIA JUSTRU TERTAWA AKAN HAL ITU?

*****

Satu bulan setelah mengenal dia.

Waktu itu, aku sempat menghakimi Dion. Sekian lama berteman dengannya, bagaimana aku bisa tidak tahu bahwa Arka, Malaikat yang kucari-cari itu justru berteman dekat, bahkan bersaudara dengan setan model Dion. Aku mengenal banyak teman-teman Dion sebelumnya, dan di antara mereka pun tak pernah menyebut nama Arka. Itu cukup membuatku heran. Dan kagum, tentu saja. Betapa Tuhan benar-benar mengujiku dengan menyembunyikan cowok itu begitu dekat dengan lingkunganku.

Tapi itu dulu.

Setidaknya, sekarang dia jauh lebih terbuka. Maksudku, ia sudah bisa membentuk paragraf utuh kalau berbicara, tak hanya sepatah-dua kata saja. Dia juga sudah bisa diajak bercanda. Arka bahkan sekarang sudah sering mengurai senyum, meski masih terlalu malu untuk tertawa seperti kali pertama tawa yang diperlihatkannya padaku.

Dan dari yang aku tahu, di antara teman-teman Dion yang lain, Arka sangat dekat dengan Andri. Sangat. Sebenarnya ada dua orang lagi yang terlihat lebih dekat dengannya, Aji dan Eza. Tapi sepertinya, kedekatannya dengan Andri lebih erat. Setiap kemunculan mereka di rumahku, Arka pasti berboncengan dengan Andri. Jika kebetulan bertemu di jalan pun, pasti mereka sedang berdua. Seperti pasangan homo -_-

*****

Malam Minggu, 2007

“Tumben udah nongol jam segini, Nay?” tanyaku heran. Nayna yang tadinya sedang tersenyum di beranda rumahku sontak mengangkat kepalanya. “Ngapain lagi lu senyum-senyum sendirian, ha?”

“Biiiiiiiiiiiiiiiiii..” pekiknya histeris sambil menggelayut di lenganku.

Oke, ini firasat yang tidak baik.

“Apaa?” tanyaku gerah. “Jangan gitu deh ah. Risih gue. Berasa diajak lesbian. Lepas.”

Nayna dengan segera menghempas tanganku. “Gaya lo!”

“Makanya biasa aja. Apaan?”

Ia kembali senyum-senyum kecentilan. “Bii…. Tolongin gue doooong.”

Aku menghela nafas. “Ya makanya apaan? Kan dari tadi gue tanyaa.. Kali ini siapa? Yang mana?” tanyaku langsung pada intinya.

Nayna mengernyit, “Eh, emang lo tau gue mau minta tolong apaan?”

“Ya taulah, Nay. Alasan lo senyum-senyum kayak ‘sahabat’ di depan rumah gue ini udah pasti berhubungan dengan cowok.” tanyaku lunglai sambil mengkode orang gila yang tinggal di depan rumahku.

Nayna merengut. “Masa’ lo samain gue sama orang gendeng begitu sih, Bi? Jahat lu ah.”

Aku mendecak. “Makanya cepetan bilaaaang.”

“Kan gue udah pernah cerita, Bi…”

Aku memicing. “Kapan?” tanyaku.

Nayna mendesah. “Ada… Yang waktu itu loooh.. Yang pas lu tanya gue kenapa senyum-senyum itu..”

Dan aku langsung membelalakkan mataku. Seandainya itu elastis, mungkin mataku akan seperti adegan di TV, saking terkejutnya langsung keluar.

“Serius lu, Nay? Yang gue tanya beberapa bulan lalu itu?” Nayna mengangguk. “Wiihhh.. Hebat tuh cowok. Ampe dipikirin berbulan-bulan ya ama lu. Rekor nih.”

Nayna mendengus. “Mau bantuin gak?” desaknya lagi.

“Ya kan gue gak tau siapa. Lu gak bilang. Gimana mau bantuin coba?”

“Iihh.. Lu kenal orangnya, Bi..” Aku mengendikkan bahuku pertanda pasrah. Kenapa dia tidak langsung bilang saja sih? Dia pikir aku dukun yang harus tau semua hal meski tidak dikatakan? -_-

Nayna menyebutkan sebuah nama pelan. Terlalu pelan. Tapi entah kenapa bisa terdengar begitu jelas di telingaku. Sejelas aku mendengar gemuruh yang terasa di hatiku.

“Siapa, Nay?” ucapku pelan mencoba meyakinkan indraku.

Tuhan, kali ini saja, kumohon buatlah aku yakin bahwa aku memang sedikit tuli. Memang ada yang salah dengan pendengaranku. Sekali ini saja, Tuhan. Sekali ini saja.

“Arka.” ulangnya lagi. Pengulangan yang membuatku akhirnya sadar bahwa, sayang sekali, kali ini yang kudengar memang yang dikatakannya.

“Ar.. ka?”

Dan dari sekian banyak orang yang kukenal, kenapa harus Arka yang membuat Nayna jatuh cinta, Tuhan?

** Scene 1 Done **